Alhamdulillah hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu robbuna wa yardho. Asy-hadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika laah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aalihi wa man taabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Detik ini kita telah berada di hari yang fithri, hari tidak berpuasa, setelah sebulan penuh kita menjalankan ibadah shiyam. Kita saat ini telah berada di hari kegembiraan. Kita bangga dengan puasa kita di saat kita berbuka dan berbangga pula dengan bekal puasa di hadapan Allah kelak.
Makna fithri sekali lagi perlu diluruskan karena sering masyarakat awam salah pahami. Makna fithri yang tepat adalah kembali lagi berbuka atau melakukan pembatal setelah sebulan penuh lamanya berpuasa. Jadi tidak tepatlah makna yang sering digembar-gemborkan bahwa Idul Fithri berarti kembali suci.
Kumandang takbir pun sebagai penyempurna ibadah shiyam yang kita jalani selama sebulan penuh. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Takbir ini disunnahkan untuk dikumandangkan sejak berangkat dari rumah hingga pelaksanaan shalat Idul Fithri. Dalam suatu riwayat disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 171)
Saudaraku kaum muslimin, di hari Idul Fithri ini sungguh kita telah mendapatkan banyak pelajaran dari ibadah yang kita jalani selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Mulai dari ibadah puasa yang kita jalani, kita mendapatkan pelajaran untuk pandai menahan diri dari segala pembatal yang asalnya sebenarnya mubah. Namun kita tinggalkan demi mengharap ridho Allah. Maka ini pertanda bahwa niat yang benar adalah jika setiap ibadah dijalanin dengan ikhlas dan mengharap wajah-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65). Ibadah barulah diterima jika murni ikhlas dilakukan karena mengharap ridho Allah Ta’ala. Jika tidak, amalan tersebut tertolak. Orang yang menjalani ibadah puasa semacam inilah yang mendapatkan keutamaan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu akan diampuni”. (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Kemudian dari ibadah shalat malam atau shalat tarawih yang kita jalani, kita pun bisa ambil pelajaran pula bahwa shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib dan inilah kebiasaan orang-orang sholeh. Sehingga kita seharusnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan baik dari orang sholeh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” (Lihat Al Irwa’ no. 452, hasan). Namun demikianlah sebagian orang malah memperlakukan orang sholeh melampaui batas sampai-sampai mencapai tingkatan kesyirikan. Tabarruk (ngalap berkah) dengan bekas minum dan makan mereka ketika orang sholeh itu hidup, atau setelah ia meninggal dunia ngalap berkah dengan kuburnya. Seharusnya sisi baik yang diambil dari mereka adalah meneladani amal sholeh yang mereka lakukan seperti shalat malam ini, bukan malah bersikap ‘ghuluw’ terhadap mereka.
Allah pun memberikan suatu malam yang penuh berkah kepada kita di bulan Ramadhan, malam yang satu ibadah lebih baik dari ibadah di 1000 bulan. Malam ini disebut lailatul qadar. Seorang muslim sebenarnya bisa dengan mudah mendapati malam tersebut. Cukup baginya beribadah secara kontinu di bulan Ramadhan, maka pasti ia akan mendapatkan keutamaan lailatul qadar. Jika ia kontinu melakukan shalat tarwih setiap malamnya, pasti ia akan mendapati lailatul qadar. Orang yang malas-malasan saja dalam ibadah yang sulit mendapatkan keutamaan malam tersebut. Keutamaan menghidupkan lailatul qadar disebutkan dalam hadits,
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Saat lailatul qadar pun kita banyak mohon pengampunan dosa. Kita mohon pada Allah agar dosa-dosa kita dihapus dan bukan hanya ditutup. Doa yang dipanjatkan adalah,
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya: Ya Allah, Engkau Maha Memberikan Maaf dan Engkau suka memberikan maaf—menghapus kesalahan–, karenanya maafkanlah aku—hapuslah dosa-dosaku–)
Kemudian di akhir Ramadhan kita pun tutup dengan amalan zakat fithri. Zakat ini adalah sebagai penutup kekurangan kita selama menjalani puasa di bulan Ramadhan. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827, hasan)
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa bulan Ramadhan penuh sekali dengan penghapus dosa. Sampai-sampai Az Zuhri berkata, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, ”Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.” Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.” (Latho-if Al Ma’arif, 373-374)
Namun perlu dipahami bahwa kita sebenarnya tidak yakin amalan kita diterima. Karena amalan hanya diterima dari orang-orang yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27). ‘Umar bin ‘Abdul Aziz berikut tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.” Mereka malah mengatakan, “Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.” Sebagian ulama sampai-sampai mengatakan, “Para salaf biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”
Itulah kekhawatiran para ulama. Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima. Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita. Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka.
Semoga dengan kumandang takbir di hari fithri ini semakin membuat kita mengangungkan Allah, semakin membuat kita menjauhi kesyirikan dan meninggalkan tradisi yang berbau syirik serta semoga kita semakin mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.
Konsekuensi dari kita ikhlas kepada Allah adalah kita hendaknya mengikuti jejak nabi kita dalam beribadah, bukan malah kita berbuat ibadah seenaknya saja. Itulah yang membuat ibadah kita bisa diterima. Ikhlas dan ittiba’ Rasul (mengikuti tuntunan Rasul) itulah dua syarat diterimanya ibadah. Orang yang beribadah dengan memenuhi dua syarat ini, merekalah orang-orang yang benar-benar mengharapkan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 9/205). Dari sini janganlah kita ibadah asal-asalan. Jangan membuat ibadah-ibadah baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian pelajaran penting lainnya dari ibadah shalat Idul Fithri yang kita lakukan saat ini. Shalat yang kita jalani mungkin agak telat dari kaum muslimin yang melakukannya di hari kemarin. Apa yang kita lakukan semata-mata karena ingin patuh pada jama’ah kaum muslimin. Yang dimaksud jama’ah adalah pemerintah Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi no. 697, shahih). Yang dimaksudkan hadits ini adalah puasa dan berhari raya adalah bersama dengan jama’ah (pemerintah) dan mayoritas manusia. Demikian tafsiran dari para ulama sebagaimana disebutkan oleh Imam At Tirmidzi dalam kitab sunannya. Keutamaan orang yang berpegang teguh dengan jama’ah adalah sebagaimana disebut oleh Imam Ahmad,
“Allah akan senantiasa bersama (dengan memberi pertolongan) pada jama’ah”. (Majmu’ Al Fatawa, 25/117)
Apalagi pemerintah benar-benar memutuskan hari raya ini dengan ru’yah hilal, yaitu penglihatan bulan tsabit di awal bulan. Allah Ta’ala berfirman,
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini secara jelas dikatakan bahwa kita cukup menyaksikan hilal di negeri masing-masing. Seandainya di negeri lain seperti Malaysia dan negara timur tengah telah terlihat hilal, kita sama sekali tidak diperintahkan satu hari raya dengan negara-negara tersebut.
Saudara kaum muslimin … Kita hendaklah memanfaatkan moment hari raya ini untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik. Bahkan yang terbaik adalah kita menjaga ibadah terus hingga akhir ramadhan.
Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari ‘ied (Idul Fithri atau Idul Adha), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobbalallahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amalku dan amalmu).” Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fathul Bari, 2/446)
Kami memohon kepada Allah semoga amalan kita di bulan Ramadhan diterima oleh Allah dan kita pun menjadi lebih baik di sebelas bulan tersisa.
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Draft Khutbah ‘Ied 1 Syawal 1432 H di Masjid Jami’ Al Adha, Mbali, Girisekar, Panggang, Gunung Kidul, D.I.Yogyakarta
www.rumaysho.com